Birovaksinokratik 1.0

Dua atau tiga hari sebelum saya menerima suntikan vaksin kedua, ibu mengirim pesan melalui aplikasi whatsapp. Isinya adalah satu poster elektronik dengan desain seadanya-untuk menghindari kata buruk-yang berisi pengumuman perpindahan tempat vaksin kedua dari yang semula di kantor kecamatan berpindah ke satu sekolah kejuruan negeri tidak jauh dari rumah. Di poster yang sama juga terpampang informasi bahwa mereka menerima pendaftaran luring bagi yang berminat vaksin dan belum mendaftar secara daring. Saya merasa cukup senang karena tempat vaksin kedua ini jauh lebih dekat dari rumah tinggal namun ada juga kekhawatiran karena pengumuman yang datang cukup tiba-tiba dengan poster elektronik yang bentuknya kurang meyakinkan.

Pada hari yang telah ditentukan tanggal 25 Agustus 2021, saya datang cukup pagi di sekolah kejuruan tempat vaksin kedua digelar. Sekitar pukul 07.45 saya sudah tiba dan bersiap, mengikuti arahan jadwal dimana area tempat saya tinggal dapat giliran waktu jam 08.00 sampai jam 09.00. Meskipun berdasar pengalaman pada saat vaksin pertama jadwal detil seperti itu tidak akan berlaku di lapangan sejak pendaftaran harus dilakukan kembali secara manual. Kali ini alur pendaftaran jauh lebih berantakan. Tampaknya saya ingin menghindari cerita detil tentang itu. Banyak orang datang berkelompok dan seperti biasa sebagian dari mereka akan menurunkan masker pada saat berbicara satu sama lain. Saya selalu agak menjauh dari kerumunan. Layaknya mendalami perkataan Sartre tentang “Neraka adalah orang lain” secara literal.

Diantara hingar bingar suara mikropon memanggil nomor antrian, saya melihat dan curi dengar dari satu, dua mungkin tiga orang yang merasa kebingungan ingin daftar vaksin pertama namun ditolak sana sini karena menurut para petugas yang berjaga, hari itu vaksin hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah menerima vaksin pertama. Ingatan saya langsung melayang pada informasi di poster yang saya terima tempo lalu, ini bukan salah mereka. Belakangan bahkan saya mendengar cerita tentang 3 bus rombongan dari Gunung Putri yang jaraknya cukup jauh, mungkin sekitar satu sampai satu setengah jam berkendara, juga berharap dapat mendaftar dan menerima vaksin pertama pada hari itu, yang tentunya berujung penolakan. Kita yang sudah seringkali dikecewakan dan merasakan ketidakhadiran negara pada begitu banyak persoalan, haruskah memaklumkan kembali kejadian seperti ini? Tapi ini adalah soal hidup mati, kita sedang dalam kondisi pandemi yang membuat kata “normal” seakan berada jauh di awang-awang. Saya hanya bisa membayangkan seperti apa kekecewaan dan kebingungan yang mereka alami, ketika antusiasme untuk menerima vaksin akhirnya mesti diruntuhkan oleh kacau balaunya alur informasi, juga mungkin birokrasi.

Setelah selesai mendapat suntikan vaksin kedua, di lorong menuju pintu keluar sekolah kejuruan itu, saya mendapati mantan guru matematika saat saya duduk di bangku SMP dan SMA. Dia tentu tidak mengenali saya pada awalnya, saya perlu menyebut nama saya dan beberapa momen interaksi kami sampai dia betul-betul bisa mengingat siapa saya. Kami berbincang sekitar 10 menit. Dulu dia adalah salah satu guru yang paling disegani, memiliki catatan cukup banyak menampar para siswa, saya beruntung tidak termasuk salah satu yang pernah menerima tamparan. Namun di hari itu dia tetiba mengucapkan permintaan maaf jika pada saat dia mengajar dulu ada hal yang tidak mengenakkan pernah terjadi. Saya dengan sungkan menerima permintaan maaf dan mengucapkan maaf balik jika pernah mengecewakan sebagai murid. Kejadian ini cukup mengobati banyak kejengkelan saya di hari itu. Kata maaf dan terima kasih.

Bogor, akhir Agustus 2021.

Birovaksinokratik 0,5

Saya sempat untuk menunda menerima vaksin cukup lama. Sebagian besar pertimbangan karena menyaksikan inkompetensi pemerintah dalam menangani pandemi, termasuk dalam penyelenggaraan vaksinasi gratis. Saya yang cukup mengalami paranoia dengan keadaan sekarang, tampak begitu rapuh pada bayangan akan antrian orang-orang untuk mendapat vaksin. Sempat berpikir untuk melalui jalan pintas dengan mencari klinik yang menyediakan vaksin berbayar, yang penting nyaman, namun keinginan ini juga harus pupus oleh gambaran ideal saya bahwa dihadapan pandemi seperti hari ini vaksin haruslah gratis.

Continue reading “Birovaksinokratik 0,5”

Robohnya Saung Kami

Hari ini seluruh asumsi dan proyeksi kita akan ruang fisik sedang dipertanyakan. Dihadapan pandemi yang membuka jalan pada zoomifikasi dan intensifikasi budaya layar sentuh, apa yang selama ini menjadi alternatif sekarang justru diutamakan. Ini menambah satu langkah percepatan mediasi teknologi setelah “otak sosial” kita juga mulai digantikan oleh internet. Tergerusnya pertemuan-pertemuan pada ruang fisik sebenarnya juga membingunkan mode kebersamaan kita. Pertanyaan utamanya tentu adalah apakah ruang dan waktu virtual dapat menggantikan relasi fisik dan sosial manusia? Dan sampai sejauh apa kondisi pandemi ini mengubah hal itu? Atau memang gambaran dystopia seperti yang pernah digambarkan oleh komik dan film The Surrogates (Jonathan Mostow, 2009) sudah ada di depan mata? Pada hari-hari di masa depan yang tidak terlampau jauh, interaksi bahkan keintiman manusia kelak digantikan oleh humanoid remote control androids.

Continue reading “Robohnya Saung Kami”

Bogor Kala Wabah; Catatan Kronologis

Jika kita menilik balik sejak kasus pertama Covid-19 ini ditemukan di Wuhan maka bulan November 2020 sudah genap satu tahun virus ini mewabah. Seluruh dunia masih berjuang untuk keluar dari pandemi. Eropa mengalami gelombang kedua, sedangkan banyak negara termasuk Indonesia masih berjuang untuk keluar dari gelombang pertama yang tampaknya tak kunjung mereda. Di Indonesia, sejak melaporkan kasus pertama pada 3 Maret 2020, yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, laju pertambahan kasus sangat sulit terbendung. Penyebarannya sudah merata di 34 provinsi dengan rekor tertinggi kasus positif masih dipegang oleh DKI Jakarta.

Continue reading “Bogor Kala Wabah; Catatan Kronologis”

Eksistensialisme To Kill a Mockingbird

Harper Lee memang hanya membutuhkan “To Kill a Mockingbird” untuk menjadikan namanya abadi, terlepas dari fakta bahwa memang hanya itulah satu-satunya novel yang diterbitkan oleh wanita kelahiran Monroeville, Alabama, 28 April, 84 tahun silam itu. To Kill a Mockingbird telah mendapatkan puluhan penghargaan yang bergengsi. Diantaranya adalah Pulitzer Prize Winning for Fiction tahun 1961 dan masuk Guinness World Record sebagai novel terlaris sepanjang masa. Tidak berhenti di situ, tahun 2007 lalu sang pengarang juga menerima anugerah Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi yang dapat diraih oleh masyarakat sipil di Amerika. Kesuksesan novelnya lantas diikuti pula dengan kesuksesan filmnya yang menjadi Box Office pada tahun 1962 serta memboyong 3 piala Oscar.

Continue reading “Eksistensialisme To Kill a Mockingbird”

Senyum: Obituari Rocky

Source: Facebook Rocky Irawan

Momen pertama bertemu dengan Rocky masih saya ingat jelas dalam ingatan. Saat itu Rocky dan Anjar adalah dua orang anak muda yang kami hubungi untuk membantu menjadi pemandu lokal bagi rombongan dari Jakarta yang berencana plesir ke Gombong diorganisir oleh museum tempat saya bekerja. Kami bertiga duduk di beranda depan museum. Saya lupa urutan subjek obrolan kami, tapi yang pasti pada kesempatan itu Rocky sempat menunjukkan KTP dengan kolom agama yang kosong miliknya. Rocky merupakan seorang penghayat. Saya sudah lama berpendapat kalau kolom agama di KTP itu sama sekali tidak perlu. Dari obrolan soal KTP, city branding, juga soal Gombong, kala itu percakapan kami cukup panjang dan dalam, mungkin menghabiskan waktu setengah siang.

Continue reading “Senyum: Obituari Rocky”

Boring-dystopia

Source: Moebius.fr

Saya ingat di akhir Februari saya masih tersenyum-senyum kecil menikmati meme yang beredar di lini masa media sosial mengenai virus corona (lantas dikenal dengan Covid-19) yang kabarnya tidak bisa masuk ke Indonesia. Salah satu meme yang saya ingat betul mempertunjukkan bahwa hutang dan rentenir lebih menakutkan bagi orang Indonesia dibanding virus dan penyakit. Berita-berita yang beredar berikut pernyataan-pernyataan dari para pejabat tinggi termasuk Menteri Kesehatan saat itu, menyatakan bahwa Indonesia bebas dari Covid-19, alasannya karena kita sering mengkonsumsi rempah dan jamu-jamuan jugadikarenakan iklim yang tropis maka kita imun terhadap Covid-19. Lalu Kementrian Luar Negeri melalui Menterinya juga sempat memprotes penutupan Mekah bagi jamaah haji dengan lagi-lagi mengutarakan pernyataan yang kurang lebih serupa, orang Indonesia tidak ada yang positif Covid-19. Saat itu saya belum benar-benar memperhatikan bahwa sesungguhnya Pemerintah sedang dalam fase penyangkalannya. Terbukti minggu berikutnya pada tanggal 2 Maret 2020, Pemerintah mengumumkan pasien no 1 dan 2 yang positif Covid-19. Sejak itu Covid-19 terus menjadi bagian dari hidup kita.

Continue reading “Boring-dystopia”

Sejarah Warga

Kami bersepakat di kali ini untuk mengangkat subjek mengenai sejarah warga ke dalam bentuk pameran. Salah satu pertimbangan adalah karena sejarah warga sering kita temui masih menjadi sebuah catatan kaki, padahal perihal seperti jalinan relasi kuasa atau kehadiran negara justru diperkuat ketika wacananya direproduksi pada kehidupan keseharian warga. Dalam arti lain narasi kecil tersebut dapat menjadi tumpuan dasar sebagai bahan analisa sesuatu yang besar dan agung. Kami pun beranggapan bahwa sejarah sebagai sebuah proses pemahaman yang dilambangkan dalam simbol kebahasaan atau naratif dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat ke tempat dan dari satu orang ke orang lain. Meskipun dalam asumsi konvensionalnya banyak orang menganggap sejarah dapat menghadirkan kebenaran mutlak yang tentu saja bermasalah pada tataran epistimologi. Sejarah tidak memberikan kita kebenaran absolut namun dapat membuat kita mengerti lebih dalam proses-proses sosial yang membentuk ‘kekinian’. Continue reading “Sejarah Warga”

DalamxLuar

Dalam Luar bisa diartikan sebagai pilihan ruang pandang tentang bagaimana kita menghayati sesuatu, ruang pandang ini akan mempengaruhi estimasi pilihan konteks dan referensi-dalam derajat tertentu juga keberpihakan-sekaligus vital dalam merespon realitas di lapangan. Menyoal kampung kota misalnya, begitu banyak hal yang tidak akan kita mengerti dalam arus kehidupan dan jaringan pertukarannya jika kita hanya memiliki sedikit waktu dan memandangnya dengan berjarak. Kampung kota hanya akan dimengerti bentuk estetikanya ketika kita berani menyisakan cukup waktu berada di dalam untuk menyelami keindahannya yang tidak preskriptif yang akan selalu membuka diri pada ragam interpretasi dan akhirnya membuat kita terpaksa terlibat dalam menjalin pemaknaan. Continue reading “DalamxLuar”